A Love Behind Piano


SUARA piano itu menggelegar di seluruh penjuru aula utama Carnegie Hall. Selesai menampilkan keahliannya memainkan piano, gadis itu berdiri di tengah-tengah panggung dan menunduk sebentar mengucapkan terima kasih. Gadis itu mengenakan topeng dari bulu ayam yang dicat hijau muda. Rambutnya dikepang satu. Tepuk tangan dari para penonton terus mengalir kepadanya.
Sambil berlari kecil, gadis itu menuju ke belakang panggung. Para wartawan berlomba-lomba mengejarnya untuk mewawancarainya. Tetapi kelihatannya, gadis itu sudah menghilang di antara kerumunan para kru di belakang panggung.
“Bagaimana? Kau berhasil mewawancarai ‘Masked Angel’ itu?” tanya seorang lelaki kepada rekannya. “Siapa? Si pianis itu? Lagi-Lagi aku gagal mewawancarainya,” jawab rekannya itu sambil cemberut. Padahal ia sudah adu cepat dengan wartawan lainnya untuk mewawancarai pianis itu.
“Sudahlah Morgan. Itu belum rezekimu,” katanya menepuk bahu Morgan.
“Kita pulang saja yuk, aku sudah tidak selera melihat pertunjukkan musik ini.” Morgan merapikan topi yang ia pakai untuk menutupi rambutnya yang sedikit berantakan.
“Tapi kan…. Ya, ya sudahlah.” Ia tahu kalau Morgan sudah mengatakan sesuatu, pasti hal itu harus dilakukan mau tidak mau.
“Daniel, kau yang menyetir mobil ya. Kau tahu sendiri kalau aku marah saat menyetir mobil, mobil itu bisa kutabrak hingga rusak.”
Daniel mengangguk saja. Tak ada salahnya mengalah kepada orang yang sedang mengamuk, pikirnya usil
 **
“Pentasmu sukses Rietta?” tanya Michelle kepada Rietta yang sibuk merapikan rambut panjangnya yang dikepang menjadi satu. “Lumayan,” jawab Rietta singkat.
“Kenapa kau tidak mau mengenalkan identitasmu yang sebenarnya kepada publik? Kau cantik, masih muda, dan berbakat. Kau bisa dijadikan artis terkenal.”
Rietta diam saja, lalu menjawab, “Aku tidak mau terkenal tetapi aku mau menyalurkan bakatku.”
Michelle hanya mengangguk walaupun ia tahu itu bukanlah jawaban Rietta yang sebenarnya. Rietta melangkah ke kamar tidurnya. “Selamat malam.” ucap Rietta. “Malam juga, mimpi indah.” jawab Michelle.
Michelle duduk di sofa yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York di malam sangat indah. Lampu-lampu di jalan dan di dalam gedung-gedung tinggi seolah-olah sedang berlomba untuk menyinari seluruh bagian kota New York. Michelle menyesap kopinya sedikit demi sedikit. Sudah 2 tahun ia tinggal di apartemen ini. Semula, ia tinggal di sini sendirian sampai suatu ketika ia bertemu dengan Rietta di bandara. Rietta tidak mengenal siapa-siapa di New York. Karena merasa kasihan, Michelle membawanya ke apartemen ini.
Michelle tersadar dari lamunannya. Ia meletakkan cangkir kopinya di atas meja telepon. Kakinya melangkah ke sudut ruangan yang terdapat piano berwarna hijau muda. Ia mulai memainkannya. Lagu Edelweis. Ia kemudian cemberut. Lagu semudah ini saja ia tak bisa mainkan dengan sempurna. Sedetik kemudian ia tersadar bahwa Rietta mungkin terbangun mendengar suara pianonya. Dengan mengendap-endap, ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke kamar Rietta.
Michelle membuka pintu kamar Rietta sedikit.
Rietta masih tidur. Apakah ia tidak mendegar suara piano yang ku mainkan? tanya Michelle pada dirinya sendiri. Lalu, ia menutup pintu kamar Rietta lagi.
Namun Michelle salah. Rietta masih dapat membuka mata dengan terang. Rietta bangkit berdiri dari tempat tidurnya lalu menghampiri meja riasnya. Ia mengambil setumpuk kertas dan mulai menulis sesuatu.
 **
Morgan menendang kaleng minuman soda yang kosong di pinggir jalan. Sudah satu minggu berlalu sejak pertunjukkan musik itu, namun ia belum mendapat informasi tentang pianis yang menamakan dirinya ‘Masked Angel’.
Wartawan macam apa aku ini? Mencari identitas seorang gadis saja aku tidak bisa!
Ia tersadar ketika matanya tertuju ke arah Carniege Hall. Kenapa aku harus ke sini lagi? Sial, rutuknya dalam hati. Tetapi walaupun mulutnya berbicara begitu, ia terus melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam gedung itu.
Gedung ini sepi karena sedang tidak ada pentas. Yang ada hanya para penari balet yang minggu depan akan mengadakan pertunjukkan di sini. Morgan terus melangkahkan kakinya ke barisan bangku terdepan. Penari balet itu sungguh berbakat. Badannya lentur dan bisa memutar-mutar bagaikan boneka Barbie.
Saat Morgan terbuai dalam penampilan balet itu, ia mendengar pembicaraan dua orang gadis yang duduk di barisan keempat dari kursinya.
“Kau tak mau menjadi opening pertunjukkan balet itu?”
“Tidak. Lagian tidak ada hubungannya antara pertujukkan balet dan permainan pianoku.”
“Tentu saja ada, tapi ya sudahlah. Eh, aku harus pergi. Ada janji makan dengan Jack. Dadah…”
Morgan kembali mengarahkan matanya ke arah panggung. Tetapi ia baru mengingat sesuatu. Gadis itu, permainan piano, rambut dikepang. Mata Morgan terbelalak. Seketika itu juga ia membalikkan kepalanya dan mencari gadis itu.
Morgan membuka mata selebar-lebarnya mencari gadis itu. Pasti gadis itu masih ada di sekitar sini! Aku yakin!
Morgan bangkit dari kursinya dan berlari ke luar aula mengejar gadis itu. Akhirnya ia mendapatkan gadis itu di depan toilet di samping aula utama. Lalu Morgan merogoh-rogoh celana panjangnya. Ia menemukan ponsel berkameranya. Dengan segera ia memotret gadis itu.
Morgan mengambil beberapa gambar gadis itu. Berhasil. Ia tinggal mencari identitas gadis itu.
Ternyata langkah kakinya yang membawa dirinya ke sini tidaklah salah. Kembali ia mengamati gambar gadis itu. Cantik juga, pikirnya.
 **
“Kenapa kau penasaran sekali kepada gadis itu?” tanya Daniel kepada Morgan yang sedang asyik memandang gambar gadis yang tadi ia potret.
“Aku hanya ingin tahu saja,” jawabnya singkat.
“Kurasa kau telah disihir oleh permainan pianonya dan kau jatuh cinta padanya,” canda Daniel yang langsung bersembunyi di bawah meja makan.
“Haha, tidak. Jaga omonganmu, atau kumakan jatah rotimu,” kata Morgan sambil mengambil roti dari piring Daniel.
“Ya, baiklah. Ngomong-ngomong kapan kau akan mencari identitas gadis itu?” tanya Daniel.
“Secepatnya. Aku ingin mengetahuinya,” jawab Morgan tersenyum.
“Dugaanku benar, kau jatuh cinta padanya.” Daniel terus meledek
“DANIELL!! Jangan biarkan aku memotong lehermu!” Morgan mengejar Daniel yang terus meledeknya.
 **
“Michelle, ada yang ingin bertemu denganmu. Ku rasa ia wartawan,” kata sekretaris Michelle di dalam telepon.
“Ok, tunggu sebentar. Aku akan ke bawah,” jawab Michelle merapikan kemeja putih yang ia pakai.
Lima menit kemudian, Michelle sudah berada di lobby bawah. “Hai aku Michelle, sepertinya aku tidak mengenalmu.” sapa Michelle sambil menjabat tangan.
“Namaku Morgan. Hmm, aku ke sini untuk mewawancaraimu.” jawab Morgan.
“Wawancara tentang?” tanya Michelle bingung. “Aku akan mewawancaraimu karena kau telah menjadi pebisnis muda yang sukses.” Morgan tersenyum kepadanya.
“Ok, baiklah. Tapi aku tak bisa sekarang. Bagaimana?” tanya Michelle sambil menggaruk kepalanya. “Oh, aku mengerti kau orang sibuk…..”
“Ya Tuhan bukan begitu maksudku. Bagaimana di luar jam kantor? Jam 7 malam ini bisa?” tanya Michelle lagi. “Tidak masalah,” jawab Morgan tersenyum riang. Michelle pun mencatat alamat apartemennya di selembar kertas dan memberikannya kepada Morgan.
Setelah pembicaraan mereka selesai, Morgan pamit undur diri. Akhirnya! Pikir Morgan senang.
 **
Bel apartemen berbunyi. Rietta segera membuka pintu. Itu pasti Michelle. Tetapi dugaannya salah. Seorang lelaki berdiri di depan pintu mengenakan jaket berwarna putih sama seperti warna kulitnya.
“Maaf, bisakah aku bertemu Michelle?” tanya lelaki itu.
“Michelle belum pulang. Aku sahabatnya. Kau mau menunggu di dalam? Ayo masuklah,” kata Rietta ramah sambil mempersilahkan lelaki itu masuk.
“Mau minum?” tanya Rietta ramah. “Mm, tidak usah. Terima kasih, oh ya, aku belum memperkenalkan namaku. Aku Morgan, wartawan koran The News.” Kata Morgan mengulurkan tangan. Rietta menyambut uluran tangan itu. “Aku Rietta.”
“Mm… Aku ke dapur ya, kau duduk saja di sini. Sebentar lagi Michelle pulang,” kata Rietta.
Rietta berlalu ke dapur. Sedangkan Morgan membaca-baca majalah yang ada di sofa ruang tamu. Apartemen ini cukup luas. Ada 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, ruang tamu, dan dapur. Semua benda tersusun rapi karena penghuninya wanita.
Sudah 1 jam menunggu, Morgan lelah. Michelle tak kunjung pulang. “Ke mana anak itu?” tanya Rietta pada dirinya sendiri sambil mondar-mandir di depan Morgan.
“Kau pasti lelah ya menunggu Michelle? Biar ku buatkan minuman ya?” tanya Rietta. Morgan mengangguk. “Teh saja.”
Tak lama kemudian, Rietta pergi ke dapur. “Aku pulang!” sahut seseorang dari ruang tamu. Rietta langsung keluar dari dapur dan memberikan teh yang ia buat kepada Morgan.
“Hei, kau ke mana saja Michelle? Temanmu menunggumu lama sekali tau,” omel Rietta.
“Aduh maaf. Morgan maafkan aku. Aku lupa janjiku padamu,” kata Michelle meminta maaf. “Tidak apa-apa, kau pasti lelah. Kalau begitu, aku akan kembali ke sini besok malam.” kata Morgan tersenyum.
“Kau lupa tehmu?” tanya Rietta memotong pembicaraan. “Oh iya, akan kuhabiskan dulu lalu aku pulang,” kata Morgan mengambil cangkir teh dari atas meja.
Selesai Morgan meminum teh, Michelle mengantarnya ke bawah. “Maafkan aku ya sekali lagi, aku benar-benar lupa janjiku,” kata Michelle dengan rasa bersalah. “Tidak apa-apa, oh ya, aku mau menanyakan sesuatu. Piano di apartemenmu itu milikmu?” tanya Morgan menyelidik.
“Oh iya, itu milikku. Tapi aku jarang memainkannya.” jawab Michelle. “Tapi kau pasti mahir memainkannya,” kata Morgan memuji. “Hah?! Tidak, tidak.” Jawab Michelle cepat.
“Hahaha, sudah ya. Aku pulang dulu, sampai jumpa besok ya,” kata Morgan melambaikan tangan. Michelle melambaikan tangannya.
**
“Itu kekasih barumu?” tanya Rietta.
“Siapa? Morgan? Bukan kok.” sela Michelle cepat. “Mengaku saja, lelaki itu tampaknya suka padamu. Dari sinar matanya, sikapnya, dan senyumnya padamu.” canda Rietta.
“Ah, sudahlah. Aku mau tidur, dadah…” Michelle lalu menutup pintu kamarnya dengan cepat sebelum Rietta meledeknya lagi.
“Kau ini,” keluh Rietta kesal.
**
Bel pintu apartemen berbunyi. Jangan bilang kalau itu lelaki yang kemarin malam, keluh Rietta.
Rietta membuka pintu apartemen. Dugaannya benar. Morgan berdiri di depan pintu apartemennya memakai kemeja bertangan pendek dan celana jins biru. Ia sangat tampan pagi ini.
“Selamat pagi,” sapa Morgan.
“Pagi, kau mencari Michelle? Dengan berat hati kukatakan bahwa Michelle sudah pergi satu jam yang lalu.” Rietta cepat menyela omongan Morgan.
“Ini baru jam setengah delapan pagi, berarti aku telat,” kata Morgan. Senyumnya hilang dari bibirnya. Melihat hal itu, Rietta iba dan merasa bersalah.
“Oh iya, aku ingat! Michelle menitipkan sesuatu untukmu. Ku ambilkan dulu ya.” Rietta segera masuk ke dalam kamar Michelle. Setelah menunggu semenit, Morgan mendapatkan titipan dari Michelle. “Ini nomor ponsel Michelle. Kau bisa menghubunginya,” kata Rietta.
“Baiklah. Terima kasih, kau sahabat Michelle yang baik,” kata Morgan tersenyum.
“Ya, Michelle beruntung mempunyai teman sepertiku.” Rietta tersenyum. “Sebagai rasa terima kasihku, bagaimana bila ku temani kau sarapan di restoran?” tanya Morgan menawarkan.
“Aku sudah sarapan,” jawab Rietta. “Ku temani kau pergi sepanjang hari, mau?” tanya Morgan lagi.
“Mm, boleh juga. Tapi dalam rangka apa? Mengucapkan rasa terima kasih? Untuk apa?” tanya Rietta sambil menyelidik. “Kau sudah menyambutku di apartemenmu dengan tangan terbuka.” Morgan tersenyum lebar.
“Ya, ya, ya. Aku beres-beres dulu, kau tunggu di ruang tamu. Ok?”
Morgan mengangguk. Entah kenapa aku merasa gembira bila berbicara dengan Rietta, ia gadis yang manis, pikirnya.
 **
“Apa saja yang ingin kau beli di supermarket?” tanya Morgan menatap Rietta yang sedang membawa berkantong-kantong belanjaan.
“Banyak sekali, ada susu, keju, kopi, roti. Ah masih banyak, aku lupa,” kata Rietta.
“Sini aku bantu membawakannya. Nanti berat badanmu turun bila membawa barang-barang ini sendiri.” Morgan mengambil beberapa kantong dari tangan kiri Rietta. Rietta memajukan bibir bawahnya. “Kenapa? Tidak mau kuledekki?” tanya Morgan tertawa. “Aneh.”
Belum sempat Morgan membalas ejekan Rietta, Rietta sudah berlari ke estalase yang penuh dengan box susu di sudut ruangan supermarket. Morgan hanya geleng-geleng kepala.
“Michelle sering memainkan pianonya?” tanya Morgan kepada Rietta.
“Tidak terlalu sering,” jawab Rietta sambil membanding-bandingkan kedua box susu yang ia pegang.
“Ia pasti sudah terlalu mahir memainkannya,” kata Morgan menyimpulkan. “Tidak juga,” jawab Rietta.
Ponsel Morgan berbunyi. Morgan segera mengangkatnya. “Halo… Mr Charles, ada apa??? Aku ke Jepang??? Kapan??? Baiklah… Akan kuatur semua jadwalku… Ya, ya… Selamat pagi…”
Morgan menutup ponselnya. “Bosmu ya? Kau dimarahi karena terlambat ke kantor?” tanya Rietta menebak-nebak.
“Tidak, aku mendapat tugas untuk pergi ke Jepang. Ku dengar ada sedikit perang di sana. Aku bertugas untuk meliputnya.” Morgan terus menjelaskan. Rietta hanya mengangguk-angguk.
“Sampai di mana pembicaraan kita tadi? Aku lupa.” tanya Rietta.
“Mm, masalah piano!” Morgan mengikuti langkah Rietta yang  bergegas mau ke deretan estalase kopi. “Oh, setauku Michelle jarang memainkan pianonya. Ia juga tidak mahir main piano, kecuali kalau ia menyembunyikan bakatnya kepadaku,” kata Rietta menjelaskan.
“Oh begitu.” Morgan mengangguk-angguk. Rietta mendongak memandangnya. “Kau suka padanya ya?” Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulut Rietta.
“Mm.”
“Benar kan dugaanku, kau suka padanya. Jangan coba membohongiku,” kata Rietta mengacungkan telunjuknya ke arah muka Morgan.
“Memang itu urusanmu?” Morgan meledek Rietta dengan menjulurkan lidahnya keluar.
“Jelas, Michelle itu sahabatku! Kalau kau tidak mendapat restu dariku, jangan harap Michelle mau denganmu.” Rietta menjulurkan lidahnya sebagai tanda pembalasa dendam kepada Morgan.
“Hmm, kau cerewet sekali ya?” tanya Morgan.
Rietta memajukan bibir bawahnya tanda bahwa ia ngambek. “Hei, jangan marah! Aku kan hanya becanda.” Senyum Morgan hilang dari bibirnya. Rietta berlari kecil ke estalase yang banyak terdapat roti. Morgan pun mengejarnya.
“Hahaha, kena kau!” ledek Rietta sambil tertawa.
“Biarlah aku mengalah kepada anak kecil sepertimu,” kata Morgan tersenyum. “Kau bilang apa?! Aku anak kecil?! Kau tak melihat kalau aku ini sudah dewasa?!”
Morgan menjulurkan lidahnya dan berlari kecil. Rietta pun mengejarnya. Pengunjung lainnya yang ada di supermarket hanya tertawa. Ah, orang kasmaran!
 **
“Terima kasih telah menemaniku belanja, nanti sore kau ke sini lagi atau tidak?” tanya Rietta sambil berdiri di pintu apartemennya.
“Kenapa? Kau takut tidak bisa bertemuku kembali? Ya Tuhan, baru bertemu dua kali denganku saja kau sudah tidak bisa hidup tanpaku.”
Rietta mencibir. “Kalau ke sini lagi, aku akan memasak makan malam biar kau makan malam di sini. Jika kau tidak ke sini lagi, aku tidak akan memasak. Michelle tidak suka makan di rumah.” Rietta terus menjelaskan, sementara Morgan hanya mengangguk-angguk.
“Ya, aku akan ke sini dan bersiap untuk meledek masakanmu.” Kata Morgan menjulurkan lidahnya. Entah sudah berapa kali ia menjulurkan lidahnya pagi ini. Rietta tersenyum mengejek. “Akan kubuktikan makananku yang nomer satu! Makanan di restoran pun kalah enaknya dengan masakanku!”
“Ok, jam 7 malam. Aku harus pergi ke kantor, dadah..” Morgan melambaikan tangannya ke arah Rietta. Rietta hanya tersenyum sampai tubuh Morgan terlihat menjauh dan mengecil.
Aku suka senyumnya, pikir Morgan mengaduk-aduk otaknya.
**
Bel apartemen berbunyi jam 7 tepat. Itu pasti Morgan! kata Rietta dalam hati.
“Hai,” sapa Morgan. “Hai juga, masuklah. Duduk saja di sini, akan kuambilkan masakanku. Dan kau harus mencicipi semuanya!” perintah Rietta cerewet. Morgan hanya mengangguk seolah tak mau berdebat dengan Rietta.
“Masakanmu bisa dimakan?” tanya Morgan kepada Rietta. “Tentu bisa.” jawab Rietta sambil mengangkat sepanci kecil sup jamur panas.
“Perlu bantuan?” tanya Morgan mengintip pekerjaan Rietta. “Tidak usah, kau kan tamuku. Masa kau bekerja juga. Yang harus kau lakukan adalah diam saja dan duduk manis.” perintah Rietta seolah memerintahkan seorang anak kecil.
Lima menit kemudian, makanan sudah diatur dengan rapi di meja makan. “Mulai dari mana? Sup jamur? Spaghetti? Pudding?” tanya Rietta. “Hmmm, aku mau mencoba sup jamur terlebih dahulu.” kata Morgan yang memegang piringnya.
“Baiklah.” Ponsel Morgan berbunyi. “Sebentar,” kata Morgan mengangkat ponselnya.
“Halo… Ah kau Michelle… Apa? Makan malam? Mm, ok… Tunggu di sana ya… Dadah.”
Morgan menutup ponselnya dan matanya berbinar-binar. “Maaf Rietta, aku harus pergi. Michelle menungguku.”
“Lalu makanannya?” tanya Rietta sedikit kecewa.
“Aku akan kembali ke sini jam 9 malam atau kau mau aku membatalkan janjiku dengan Michelle?”
Rietta mendesah lalu tersenyum, “Tidak, pergilah. Michelle menunggumu.”
“Jaga dirimu baik-baik. Dadah..”
Seusai Morgan pergi dari apartemennya, Rietta menghampiri jendela yang ada di dapur. Lalu ia memperhatikan Morgan yang sedang berjalan. Rietta memegang dadanya. Sakit.Ya Tuhan apakah benar aku tidak rela ditinggalkan oleh dia?
 **
Suara piano itu. Kenapa terdengar sangat merdu? Morgan mempercepat langkahnya ke dalam apartemen Rietta. Pintu apartemen tidak terkunci. Morgan masuk tanpa membuat Rietta tersadar dari permainan pianonya. Lagu Phil Colin You’ll Be In My Heart. Rietta juga bernyanyi.
Selesai lagu tersebut, Morgan bertepuk tangan. Rietta kaget. “Hei kenapa kaget begitu? Oh ya, mana makananku? Belum kau makan kan?”  tanya Morgan.
Rietta menggeleng. “Kau habis menangis ya?” Morgan maju mendekati Rietta lalu mengusap air matanya. “Tidak, aku tidak menangis. Bagaimana kencanmu dengan Michelle?” tanya Rietta yang segera melesat ke meja makan.
“Tidak begitu baik. Belum setengah jam Michelle sudah pergi.” kata Morgan. Rietta bisa melihat raut kekecewaan yang ada di wajah Morgan.
“Sudahlah, ayo kita makan,” ajak Rietta. Morgan tersenyum. “Aku baru tahu kau bisa memainkan piano dengan indah,” puji Morgan.
“Mm, ya.” Rietta menyendokkan sesendok besar nasi untuk Morgan.
“Besok pagi kau ada acara?” tanya Morgan mengalihkan pembicaraan. “Tidak ada, kenapa?” jawab Rietta bingung.
“Mau menonton konser perdana gitaris terkenal dari Prancis?” tanya Morgan.
“Di mana?” tanya Rietta lagi. “Carnegie Hall, mau kan ikut denganku?” tanya Morgan.
“Kenapa tak ajak Michelle saja?” Rietta seolah berpikir-pikir terlebih dahulu untuk menerima ajakan Morgan. “Michelle tidak bisa. Awalnya aku berpikir musisi seperti Michelle mau kuajak menonton konser musik tapi ia tidak suka musik,” kata Morgan menjelaskan.
“Hah?! Musisi?” tanya Rietta. Belum sempat Morgan menjawab, pintu apartemen diketuk. Ternyata Michelle dalam keadaan mabuk. “Astaga Michelle.” Rietta mengatupkan mulutnya dengan kedua tangannya. Morgan dengan sigap langsung menangkap tubuh Michelle.
“Bukakan pintu kamarnya,” perintah Morgan kepada Rietta.
Morgan membaringkan tubuh Michelle di tempat tidur. Rietta mengambilkan air hangat untuk Michelle. “Aaaa, Jack sialan! Tega-teganya ia meninggalkanku.” Michelle mengigau. Morgan mengelus pipinya dengan penuh perhatian. Rietta yang melihatnya dari belakang pintu hanya terdiam. Ia memegang dadanya lagi. Sakit.
 **
Sudah beberapa hari Rietta tidak bertemu dengan Morgan. Ia pun membatalkan janjinya menemui Morgan di konser musik itu. Ia sengaja menghindar dari Morgan karena ia menyadari bahwa ia jatuh cinta kepada Morgan dan ia tidak mau membiarkan perasaanya berlarut makin dalam.
Tetapi pagi ini, Rietta tak dapat mengelak lagi dari Morgan. Morgan datang padanya untuk pamit ke Jepang.
“Rietta, kenapa kau menghindariku?” tanya Morgan membuka pembicaraan.
“Apa? Tidak,” kata Rietta berbohong. “Mm, aku ke sini untuk pamit padamu. Aku akan ke Jepang.” Morgan terdiam. Rietta sempat kaget tetapi tak menunjukkannya.
“Oh, lalu?” tanya Rietta.
Morgan hanya menatap Rietta. Ya Tuhan tatapan matanya. Jangan biarkan aku memiliki perasaan cinta kepadanya. Ia tidak mencintaiku, kata Rietta dalam hati.
“Maukah kau menghabiskan waktu seharian ini hanya bersamaku?” tanya Morgan berharap. “Mm, aku.. Aku..” Tetapi akhirnya Rietta mengangguk. Morgan pun tersenyum.
**
“Hei jangan banyak makan! Nanti kau tidak kuat untuk berlari dalam meliput berita. Sini berikan kepadaku setengah ayammu. Ambillah supku, kau harus banyak makan sayur ketimbang daging!”
Ocehan itu membuat Morgan tertawa. “Kau cerewet sekali,” ledek Morgan. Rietta memajukan bibir bawahnya. Ia membuang muka.
“Ya baiklah, aku mengalah.” Morgan memberikan setengah ayamnya ke Rietta. Rietta pun tersenyum kembali.
“Aku suka melihatmu tersenyum. Dua hari hidup tanpa melihat senyummu bagai hidup tanpa oksigen di dunia ini,” kata Morgan tersenyum manis.
Jangan biarkan aku terbuai oleh kata-katanya, perintah Rietta pada dirinya sendiri.
“Sehabis makan siang ayo kita ke Carnegie Hall, akan ada gladi resik penari ternama dari Eropa. Masih mau menemaniku kan?” tanya Morgan. Rietta hanya mengangguk.
Setengah jam kemudian, mereka sudah tiba di aula utama Carnegie Hall. Mereka langsung memilih untuk duduk di barisan kelima dari depan.
“Bagaimana hubunganmu dengan Michelle?” Rietta mulai membuka pembicaraan. Morgan kemudian menatapnya. “Jujur, aku merasa tidak nyaman bila di sampingnya, ia terlalu diam, perfeksionis, dan yah, masih banyak lagi.”
“Oh, lalu apa yang kau suka dari Michelle?” tanya Rietta.
“Satu-satunya hal yang kusuka dari  Michelle adalah permainan pianonya.” jawab Morgan sambil tersenyum seolah membayangkan permainan piano yang indah. Rietta hanya bengong.
“Permainan piano? Sejak kapan Michelle bisa main piano?” Rietta menanti jawaban Morgan. “Aku melihatnya tampil perdana di sini untuk memainkan pianonya. Ia memainkan lagu karangannya sendiri. Judulnya A Love Behind Piano.”
Mata Rietta terbelalak. Bagaimana mungkin? Itu lagu ciptaanku. Kenapa Morgan salah mengira? Rietta hanya diam membisu.
“Dengar, Michelle tidak bisa memainkan piano. Piano di apartemenku memang miliknya, tapi….”
Ponsel Morgan berbunyi. Morgan segera mengangkatnya. “Halo… Iya… Apa?! Pesawatnya berangkat jam 2 siang? Tapi… Ya, baiklah.”
“Kenapa?” tanya Rietta. Morgan menatapnya, “Aku harus meninggalkan New York sekarang.”
“Kenapa.. Kenapa mendadak?” Rietta tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia tak tahu bagaimana hidup tanpa Morgan dalam waktu yang cukup lama.
“Ya, jam 2 aku harus sudah ada di bandara. Kau mau mengantarku?” tanya Morgan. Rietta mengangguk pasrah.
 **
“Sudah siap?” Rietta memegang erat tangan Morgan. Morgan pun tak keberatan.
“Aku mau mengatakan sesuatu,” kata Morgan. “Apa?” tanya Rietta penasaran. Morgan mengambil napas perlahan lalu membuangnya.
“Sejak pertama kali ku lihat dirimu, senyummu, cara bicaramu, aku memandangmu dengan cara lain. Ya, aku tak tahu kenapa. Kau bisa membuatku tertawa, tersenyum, dan senang. Kau juga bisa bermain piano dengan indah. Dulu ibuku seorang pianis. Gara-gara kanker rahimnya, ia meninggal dan aku tidak bisa mendengar permainan piano darinya. Dan entah kenapa sampai saat ini aku terobsesi mencari wanita yang bisa memainkan piano dengan indah. Suatu malam aku mendengar permainan piano. Kau tahu itu permainan piano siapa?” tanya Morgan. Rietta menggeleng.
“Itu adalah kau. Sebelumnya, aku menemukan seorang wanita yang bisa memainkan pianonya dengan indah. Ia memakai topeng untuk menutupi wajahnya.”
Rietta tidak mendengar lagi apa yang diucapkan Morgan. Pikirannya terpecah belah.Gadis bertopeng itu aku Morgan!
Keberangkatan pesawat ke Tokyo sebentar lagi. Morgan mulai berjalan ke terminal 3E.
“Rietta..” Rietta hanya diam dan kemudian menoleh, “Ada apa?”
Dalam satu gerakan cepat, Morgan sudah memeluknya. Pelukan itu terasa hangat. “A.. Aku.. Aku mencintaimu,” kata Morgan.
“Mm, saat yang tidak tepat untuk menyatakan cinta sekarang.” Rietta melepaskan pelukannya.
“Berjanjilah padaku kau harus kembali ke New York secepatnya. Jangan terlalu mendekat bila perang sedang terjadi. Kau bisa meliputnya dari jarak jauh. Jaga keselamatanmu, ok?” tanya Rietta.
“Ya aku berjanji. Tapi sepulang aku dari Tokyo, kau harus memainkan piano dengan indah untukku. Hanya untukku. Mengerti?” Morgan mencium kening Rietta. Rietta membiarkan hal itu.
“Saat Natal tiba, aku sudah kembali ke sini. Aku berjanji. Tunggulah aku di Carnegie Hall. Mainkanlah piano di sana.” Morgan melambaikan tangan.
Rietta hanya tersenyum sambil menahan air matanya agar tak tumpah dan tidak membuat Morgan khawatir.
Mulai hari ini akan kucoba untuk hidup tanpa bayang-bayang darimu sampai kau kembali, aku harus bisa! Rietta pun masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya di tempat parkir.
 **
New York, 25 Desember 2012
Seorang gadis duduk di kursi piano. Matanya tertuju ke arah pintu utama. Gadis itu Rietta. Ia menanti Morgan. Apakah kau tak menepati janjimu? tanya Rietta dalam hati.
Rasa khawatir, marah, kesal, sedih kini bercampur pada dirinya. Sudah 4 jam ia duduk di sini menanti Morgan, namun tak kunjung datang. Sekarang jam 7 malam, orang-orang sedang berkumpul dengan keluarganya merayakan hari Natal, namun Rietta hanya duduk sendiri meratapi nasibnya. Waktu terus berlalu, kini sudah jam 10 malam. Ia bertekad untuk pulang.
“RIETTA..”
Suara itu membuat Rietta kaget dan mencari-cari asal suaranya. Morgan. Tetapi…
“Apakah kau menantiku?” tanya Morgan di kursi rodanya.
“Morgan? Kau.. Apa yang terjadi? Kakimu?” tanya Rietta meneteskan air mata.
“Maaf aku tak menepati janjimu. Aku.. Saat perang berlangsung, aku terkena serangan bom yang meledak. Kakiku lumpuh,” kata Morgan memandangi kakinya.
“Kenapa kau tak menepati janjimu? Kenapa?!” tangis Rietta meledak.
“Maafkan aku,” kata Morgan lirih.
“Setiap hari aku mengkhawatirkanmu. Aku menunggumu. Tapi kenyataannya kau tidak dapat menjaga keselamatan dirimu sendiri! Bagaimana.. Bagaimana jika kau.. Kau tidak selamat dari perang itu?! Kau akan meninggalkanku! Aku akan hidup merana sendiri! Hidup tanpamu selama 7 bulan ini membuatku sengsara! Kau tahu itu? Apakah kau tidak mencintaiku dan kau tega meninggalkanku?” Rietta memalingkan mukanya dan menghapus air matanya.
“Cita-citaku dari kecil menjadi wartawan. Dan aku bertekad, walaupun badai menghadang, aku harus meliput setiap kejadian penting. Saat aku di rumah sakit, kondisiku kritis. Bahkan dokter meramalkan bahwa aku takkan selamat, tapi karena janjiku padamu dan karena rasa cintaku yang sangat besar untukmu, aku bisa bertahan hidup.” Morgan menatap Rietta.
Rietta tak sanggup lagi, ia memeluk Morgan. “Maafkan aku, maaf..” kata Rietta sambil menangis.
“Aku yang salah, Rietta. Jangan menangis! Kau terlihat sangat rapuh saat menangis. Tersenyumlah, senyummu yang bisa membuatku hidup.” kata Morgan sambil menghapus air mata Rietta.
“Ya, aku akan tersenyum.” Senyum Rietta mengembang di bibirnya.
“Kau tidak malu kan mempunyai kekasih yang lumpuh?” tanya Morgan.
“Tidak, aku akan menerimamu dalam kondisi apapun.” Rietta tertawa.
“Mana permainan pianomu? Lagu apa yang ingin kau mainkan?” tanya Morgan.
Lima menit kemudian, Morgan mendapat jawabannya. Lagu ini. A Love Behind Piano.Bagaimana ia bisa memainkan lagu Michelle dengan lancar dan sangat indah?
 **
“Bagaimana kau bisa memainkan lagu itu dengan baik padahal lagu itu…” Belum selesai Morgan berbicara, telunjuk Rietta sudah bertengger manis di depan bibirnya.
“Tentu aku bisa memainkannya. Itu laguku. Karanganku. Aku yang memainkannya. Dan ini..”
Rietta mengeluarkan topeng bulu ayam berwarna hijau muda dan memakainya. Morgan kaget. “Kau ‘Masked Angel’? Tapi bagaimana mungkin?” tanyanya kaget.
“Percaya atau tidak Masked Angel adalah aku. Dan sejak awal kau mungkin sudah ditakdirkan untuk bersatu denganku. Hanya saja ada hambatan dan beberapa kebodohanmu dalam membedakan wanita.” kata Rietta sambil tersenyum merahasiakan sesuatu.
“Kebodohanku?” tanya Morgan bingung.
“Sudahlah, ayo kita pulang. Akan ku ceritakan di jalan,” kata Rietta sambil mendorong kursi roda Morgan.
 **
Hari itu, Selasa pagi. Rietta ingin sekali menonton gladi resik penari balet terkenal di Carnegie Hall. Dengan segala bujukan dan rayuan, akhirnya Michelle mau menemaninya.
“Ya Tuhan, jam 10 pagi ini aku ada janji dengan Jack. Bagaimana bila ku terlambat?” tanyanya pada Rietta.
“Ayolah, sebentar saja.” Rietta tersenyum. “Aduh, karet kunciranku. Akan kuambil dulu di kamar, Jack tidak suka kalau rambutku digerai.”
Tangan Rietta mencekal lengan Michelle. “Sudahlah, akan kupinjamkan karetku.”
Jam delapan pagi, mereka sudah tiba di Carnegie Hall. Mereka memilih duduk di barisan keempat dari depan.
Rietta sangat senang menyaksikan gladi resik itu. Tetapi masuklah seorang lelaki berbadan tinggi ke dalam aula. Ia duduk di barisan pertama. Badannya yang tinggi membuat Rietta tidak jelas dalam melihat para penari balet itu. Tetapi Michelle mengalihkan perhatiannya dengan bertanya,
 “Kau tak mau menjadi opening pertunjukkan balet itu?”
“Tidak. Lagian tidak ada hubungannya antara pertujukkan balet dan permainan pianoku.”
“Tentu saja ada, tapi ya sudahlah. Eh, aku harus pergi. Ada janji makan dengan Jack. Dadah…”
Rietta pun terpaksa ikut keluar dengan Michelle. “Mana kunciranmu? Biar kupinjam!” kata Michelle.
“Berjalanlah terus, biar kukuncir rambutmu.” Rietta melepaskan karetnya dan rambutnya tergerai bebas.
“Selesai,” kata Rietta puas dengan hasil kuncirannya.
“Aduh, mengapa aku harus dikepang? Mentang-mentang kau suka dikepang, aku jadi ikut dikepang juga,” keluh Michelle.
“Sudah diam, aku ke toilet dulu ya. Tunggu aku.” kata Rietta menitipkan tasnya.
Michelle terpaksa diam di depan toilet tanpa sadar ada seseorang memotret dirinya. Pemotret itu adalah Morgan. Gadis dikepang, pemain piano. Senyum pun mengembang di bibir Morgan. tanpa ia sadari ia keliru dalam menyimpulkan sesuatu.

Thanks for Reading ^^
Official Made by @rvchikacool 
****

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[C-Drama] Well-Intended Love Season 1 & 2 REVIEW

Taiwan Drama - Kabut Cinta (Romance in The Rain)

[C-Drama] REVIEW The Love Equations a.k.a The Sweet Love Story